Menatap Langit pada Titik Sepi

Senin, 07 Maret 2011

Mengukur Ikhlas Kita

Buletin Gaul Islam
15 Desember 2009 - 10:31
gaulislam edisi 112/tahun ke-3 (27 Dzulhijjah 1430 H/14 Desember 2009)
Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Setiap amal bergantung kepada niatnya. Yup, benar banget. Niatnya pun kudu ikhlas karena ingin mengharap keridhoan Allah Swt. semata. Hmm.. kudu ikhlas ya? Waduh, kayaknya kata itu buat kita jadi makin asing neh. Bukan kenapa-kenapa, susah juga nemuin orang yang mau ikhlas di jaman sekarang. Segalanya diukur dengan duit, dengan harta benda, ketenaran, cari muka dan sejenisnya. Iya, maksudnya kalo kita mau nolong orang kadang yang kepikiran: nih orang mau ngehargai gue nggak sih; orang ini kalo gue bantu mau balas jasa nggak ke gue; kalo gue menolong dia nama gue harum nggak sih; kalo gue nolong orang ini, kira-kira berapa gue dibayar; dan seabreg pikirin lainnya yang ujungnya itung-itungan deh.


Bro en Sis, secara teori udah banyak orang yang jelasin. Seperti kata teori pula, kayaknya gampang untuk bisa ikhlas. Tapi praktiknya, duh kita bisa rasakan sendiri gimana susahnya jaga hati dan jaga pikiran biar ikhlas kita nggak ternoda. Soalnya, ada aja celah yang bisa bikin kita melenceng dari niat awal dalam berbuat. Awalnya sih insya Allah bakalan ikhlas, eh nggak tahunya di tengah jalan ada yang godain kita supaya nggak ikhlas. Halah, gawat bener kan?
Sobat muda muslim, sekadar ngingetin memori kita, dalam Islam ikhlas ternyata mendapat perhatian khusus lho. Soalnya, ini erat kaitannya dengan amal perbuatan kita dan keimanan kita kepada Allah Swt. Jangan sampe deh kita beramal diniatkannya bukan karena perintah Allah Swt. atau bukan karena ingin mendapat ridho Allah Swt. Kalo sampe diniatkan dalam beramal karena ingin dipuji manusia gimana tuh? Duh, nggak tega deh saya nyebutinnya. Soalnya, tuh amal nggak bakalan ada bekasnya alias nggak mendapat ridho Allah Swt. Amal kita jadi sia-sia, Bro. Ih, nggak mau kan kita beramal tapi nggak dapat pahala? Amit-amit deh!
Bro en Sis, ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah Swt. dalam al-Quran menyuruh kita ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)
Rasulullah saw, juga ngingetin kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Bro, sekadar tahu aja bahwa ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang nggak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah Swt (yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]: 162)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu nggak heran kalo Ibnu Qayyim al-Jauziyah ngasih perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Bro, lawannya ikhlas itu adalah ujub dan riya’. Itulah sebabnya orang yang sekaliber Umar bin Abdul ‘Aziz r.a. pun sangat takut akan penyakit riya’. Ketika ia berceramah kemudian muncul rasa takut dan penyakit ujub, segera ia memotong ucapannya. Dan ketika menulis karya tulis dan takut ujub, maka segera merobeknya. Subhanallah!
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya tidak diterima.
Ikhlaskah kita?
Ikhlaskah kita jika beramal tapi ngarepin imbalan materi? Ah, kamu pasti bisa menilai sendiri deh. Iyalah. Misalnya nih, kalo ortu kamu minta tolong sama kamu untuk belanja kebutuhan dapur ke warung dekat rumah, kemudian kamu minta imbalan ke ortu kamu, ati-ati lho. Itu bisa termasuk nggak ikhlas kamu berbuat. Sebaiknya lurus-lurus aja. Nggak ngerasa ada ruginya alias nothing to lose, gitu lho. Mau dapet materi apa nggak dari apa yang kita usahain, kita nggak peduli. Nolong aja. Apalagi itu sama ortu. Jangan sampe deh ketika ortu minta tolong, eh kita malah pake tarif segala: Jauh-dekat Rp 2000 (idih, emangnya naik angkot!).
Bro, kalo kebetulan kamu ditunjuk jadi ketua OSIS atau ketua Rohis, nggak usah ngarepin materi dari jabatan yang kamu sandang. Kalo kamu beranggapan bahwa dengan menjadi ketua OSIS kamu bakalan bisa dengan mudah narikin iuran dari siswa terus kamu bisa memperkaya diri, wah itu namanya bukan cuma nggak ikhlas tapi udah melakukan penyalahgunaan jabatan.
Bro, meski kita nggak ngarepin imbalan secara materi, tapi yakin deh bahwa apa yang kita lakukan pasti mendapat ganjaran kebaikan lain di sisi Allah Swt. Jadi, nothing to worry about alias nggak perlu cemas dengan jaminan kebaikan dalam bentuk lain yang Allah berikan sebagai ‘imbalan’ atas keikhlasan kita. Intinya sih, jangan ngarepin imbalan dari manusia, cukup ridho dari Allah Ta’ala aja yang kita harepin. Setuju kan?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata: Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu. Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu pemberian kepadanya. (HR Muslim)
Subhanallah, Rasulullah saw. malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan untung-rugi lagi. Hebat kan, Bro?
Oya, keikhlasan kita juga akan diuji saat kita merasa ingin dilihat oleh orang lain, lho. Kalo mikirin hawa nafsu sih, kadang kita kepikiran ya pengen dilihat oleh teman kita ketika kita berbuat sesuatu. Ketika masukkin duit ke keropak di masjid, kita bahkan kepengin banget diliatin ama temen di sebelah kita. Emang sih, duitnya kita tutupi dengan tangan satunya saat masukkin ke keropak yang diedarkan di masjid kalo ada acara di sana. Apalagi kalo sampe terbersit di pikiran dan hati kita akan adanya decak kagum dari teman yang ngeliat amal kita, “subhanallah ya, dia rajin shadaqahnya”. Duh, itu bisa menodai amalan kita, Bro. Emang nggak mudah berbuat ikhlas ya. Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan.
Saat tampil jadi imam shalat, dan kebetulan bacaan al-Quran kita maknyus alias enak didengerin sama jamaah lain, jangan sampe deh kita punya pikiran ingin dianggap paling hebat. Apalagi kalo sampe diam-diam kita malah mengagumi diri sendiri, “orang lain nggak ada yang bisa kayak saya. Mereka pantas memilih saya jadi imam shalat”. Ah, ngeri deh. Ngeri kalo amalan kita bakalan nguap begitu aja. Insya Allah cara shalatnya sih bener asal ngikutin aturan yang udah ditetapkan dalam fiqih, tapi persoalan niat yang ada di pikiran dan hati bisa merusak amalan baik kita. Bener lho. Gara-gara nggak ikhlas, amal kita jadi sia-sia. Karena kita lebih ngarepin agar diliat oleh orang daripada ingin diliat sama Allah Swt.
Bro en Sis, emang sih kita bisa merasakan langsung kalo targetnya ingin diliat orang. Begitu suara kita mengalun manis dan easy listening saat mendendangkan nasyid terbaru dan kemudian para jamaah penonton konser nasyid tingkat RT yang kita ikutin itu bersorak gembira dan mengelu-elukan kita, pasti deh ada aja sedikit rasa jumawa en bangga diri (gue gitu, lho!). Awalnya sih boleh-boleh aja kita merasa ingin dihargai orang lain. Wajar kok. Tapi yang nggak wajar adalah kita merasa harus memposisikan diri selalu ingin dihargai dan dihormati. Kalo nggak dihargai ngambek dan kecewa. Nah, yang bisa merusak amal kita adalah karena niat yang udah tercemar “ingin selalu diliat orang”. Padahal, menjadi “dilihat orang” adalah efek samping, bukan tujuan kita dalam berbuat/beramal. Orang yang sering tampil dimuka umum wajar atuh kalo akhirnya dikenal. Tul nggak sih?
Muhasabah diri
Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18)
Ayat ini merupakan isyarat untuk melakukan muhasabah setelah amal berlalu. Karena itu Umar bin Khaththab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (terj.), hlm. 478)
Muhasabah di sini artinya senantiasa memeriksa diri kita sendiri. Sudah sejauh mana sih yang kita raih dalam beramal baik. Sudah banyak nggak pahala yang kita perbuat, atau jangan-jangan malah sebaliknya kedurhakaan yang mengisi penuh pundi-pundi amal yang bakalan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Yuk, kita bareng-bareng meningkatkan kualitas amalan kita dan memperbanyak amal shaleh. Senantiasa ikhlas, bersabar, dan bersyukur kepada Allah Swt. Nggak jamannya lagi mengingkari kelemahan kalo sejatinya kita emang lemah dan nggak mampu. Juga nggak perlu malu mengakui kesalahan jika memang kita salah. Jangan menyerang orang lain yang kita tuding sebagai biang kesalahan kita, tapi kita melakukan interospeksi diri. Sebab, kita hidup bersama orang lain. Dan kita memang saling membutuhkan satu sama lain. Kita juga pasti butuh kepedulian dari orang lain (termasuk kita sendiri harus peduli dengan orang lain). Itu sebabnya, kita harus ikhlas menerima teguran dan nasihat dari teman kita. Jangan merasa terhina jika dinasihati. Tapi sebaliknya, merasa diistimewakan karena selalu diingatkan.
Nikmati dunia ini dengan cara yang benar dan tuntunan yang sesuai ketetapan Allah Swt. dan RasulNya. Tak perlu khawatir, karena semua yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita adalah demi kebaikan kita. Tetaplah kita bersama Allah Swt. dan RasulNya. Jalani hidup dengan ikhlas, insya Allah nikmat, bahagia, tanpa perlu merasa was-was. Ikhlas menjadikan kita lebih terhormat di hadapan Allah Swt., juga menjadikan orang lain berusaha mencontoh pribadi kita yang baik. Semoga, kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang senantiasa ikhlas menghadapi berbagai kenyataan hidup sembari berdoa memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Swt. Kita muhasabah diri: seberapa ikhlaskah kita? Hanya kita yang mampu menjawabnya. Interospeksi yuk!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar